Advertisement
2. Tone Control
Tahapan berikutnya dari sebuah audio amplifier adalah tone control. Output dari pre-amp diolah di dalam unit ini sehingga didapatkan pengaturan boost (ditonjolkan) atau cut (diminim-kan) pada range frekwensi audio yang diinginkan.
Tone control pasif
Tone control yang paling sederhana adalah tone control pasif yang hanya terdiri dari potentiometer, resistor dan kondensator. Pengaturan nada hanya sebatas cut terhadap nada-nada tinggi. Pada tone control yang seperti ini tidak terjadi boost dan tidak terjadi penguatan sinyal.
Gambar di atas memperlihatkan tone control pasif sederhana. Jika posisi pengaturan VR minimum maka nilai resistansinya adalah maksimal, sehingga kondensator C praktis dikatakan tidak berpengaruh terhadap sinyal audio yang melintas di antara input dan output. Apabila posisi VR maksimum, maka resistansinya minimal (atau nol) sehingga C menghubung singkat ke ground sebagian sinyal pada frekwensi-frekwensi tertentu. Frekwensi-frekwensi yang dihubung singkat oleh C adalah frekwensi-frekwensi tinggi dalam spektrum audio di mana reaktansi kapasitansi C adalah kecil terhadapnya.
Reaktansi kapasitansi C (disimbolkan dengan Xc) adalah :
Xc = 1 / (2πf.C)
Untuk frekwensi-frekwensi tinggi audio, lazimnya nilai C adalah dalam besaran puluhan hingga ratusan nanoFarad. Semakin besar nilai C semakin lebar jalur frekwensi tinggi audio yang akan di-cut.
Pada gambar di atas diperlihatkan tone control pasif yang lebih baik. Pola yang seperti ini telah dikemukakan seseorang bernama E.J James pada tahun 1949 dan hingga sekarang pola aslinya masih tetap banyak diterapkan.
E.J. James menerapkan untuk pertama kalinya penggunaan dua potentiometer untuk pengaturan nada-nada tinggi audio (treble) dan nada-nada rendah audio (bass).
Tone control aktif
Tone control yang lengkap adalah tone control aktif yang menerapkan fungsi komponen aktif seperti transistor atau IC. Di dalam tone control aktif terjadi boost dan cut dan terjadi pula penguatan level sinyal.
Tone control aktif pertama kali dikemukakan oleh P.J Baxandall pada tahun 1952 sebagai pengembangan tone control pasif yang telah dikemukakan sebelumnya oleh E.J James.
Ia menggunakan sebuah penguat (pada waktu itu) tabung pentoda dan merangkai sirkit umpan balik negatif di dalam pengaturan nada. Hasilnya lebih baik karena dihasilkan boost dan cut yang lebih selektif.
Pola asli konsep Baxandall kira-kira dapat digambarkan sebagai berikut :
Azas Baxandall kini banyak diterapkan di dalam tone control aktif pada banyak rancangan audio hi-fi dengan penguat berupa transistor ataupun IC. Lihat ulasan khusus tentang azas Baxandall dalam : Konsep E.J.James dan P.J.Baxandall dalam pengaturan nada audio .
Sebagaimana pada tone control pasif, umumnya sebuah tone control aktif pun mempunyai dua penyetelan nada, yaitu penyetelan boost dan cut untuk nada-nada rendah (bass) serta penyetelan boost dan cut untuk nada-nada tinggi (treble). Nada-nada rendah adalah range frekwensi audio pada kisaran 250Hz ke bawah, dengan frekwensi senter antara 60 atau 80Hz. Dan nada-nada tinggi berada pada kisaran 3kHz ke atas dengan frekwensi senter antara 5 atau 10 kHz. Kadang-kadang tone control dilengkapi pula dengan pengaturan untuk nada-nada tengah (midrange) dengan frekwensi senter 1khz. Dengan adanya pengaturan-pengaturan nada ini sinyal audio dari pre-amp diperbaiki. Jika ada kekurangan pada range frekwensi tertentu yang mungkin kurang menonjol maka dilakukan boost, dan jika ada yang malah terlampau menonjol maka dilakukan cut. Hal ini dilakukan karena adanya kemungkinan pick-up sumber yang berbeda-beda tanggapan frekwensinya. Selain itu juga karena adanya “selera” pendengaran bagi setiap orang yang mungkin berbeda-beda pula.
Selain berfungsi utama sebagai pengatur nada, sebuah unit tone control secara keseluruhan juga berfungsi sebagai penguat tegangan sinyal audio agar mencapai level yang cukup untuk diberikan kepada power-amplifier (penguat daya). Apabila level tegangan sinyal maksimal yang dipersyaratkan oleh power-amplifier tidak tercapai, maka power-amplifier pun tidak akan maksimal mengeluarkan daya-nya kepada speaker.
Sebagai contoh, pada sebuah unit rangkaian power-amplifier tertera di dalam data spesifikasinya : Power-output maks. 45W dengan kepekaan input 1V. Ini berarti level sinyal audio yang dikeluarkan oleh rangkaian tone control harus mencapai maks. 1V agar power-amplifier mengeluarkan daya maksimal 45W. Rangkaian tone control yang hanya mengeluarkan tegangan sinyal 500mV tidak akan cocok dengan unit rangkaian power-amplifier yang seperti ini.
Karena itu tidak sembarang rangkaian tone control yang dibuat orang selalu cocok dengan suatu rangkaian power-amplifier. Level keluaran/output tone control harus sesuai dengan kepekaan input power-amplifier.
Gambar di atas adalah satu contoh rangkaian tone control dengan transistor yang cukup populer dan banyak diterapkan di dalam amplifier-amplifier stereo lokal. Pada dasarnya rangkaian itu adalah bentuk penerapan konsep asli Baxandall, hanya divariasikan dengan penambahan sedikit.
Transistor pertama bertindak sebagai buffer (penyangga) dengan pengatur volume di jalan masukannya. Transistor kedua bertindak sebagai pengatur nada aktif yang sebenarnya. Pengaturan boost dan cut untuk bass dan treble dilakukan melalui dua potentiometer. Dalam rangkaian seperti ini transistor membentuk filter untuk frekwensi-frekwensi tinggi dan rendah dalam spektrum audio.
Pada pengaturan treble, apabila VR2 berada pada posisi maksimum maka kondensator 332 akan berderet dengan resistor 1k (membentuk R dan C deret) memungut langsung sinyal audio frekwensi tinggi dari emitor T1. Frekwensi senter-nya adalah frekwensi di mana impedansi R dan C deret paling kecil baginya. Kaitan antara impedansi (Z) R dan C deret dengan frekwensi adalah :
Z = √(R² + X²C)
(Xc adalah reaktansi kapasitansi dan telah disinggung di bagian sebelumnya).
Apabila VR2 berada pada posisi minimum maka kondensator 332 akan berderet dengan resistor 1k dari jalur keluaran T2 sehingga terbentuklah peredaman bagi frekwensi senter.
Pada pengaturan bass, apabila VR3 berada pada posisi maksimum maka kondensator 473, resistor 4k7 dan 8k2 membentuk low pass filter bagi jalur masukan T2. Ketika VR3 berada pada posisi minimum maka kondensator 473, resistor 4k7 dan 8k2 menjadikan transistor sebagai peredam aktif bagi frekwensi-frekwensi rendah audio.
Output tone control ini mempunyai level tegangan sinyal hingga beberapa ratus milivolt yang cukup untuk mengemudikan sebuah power-amplifier 20W.
Selanjutnya, frekwensi senter dan penonjolan nada-nada bass/treble pada tone control : Tekhnik Audio, Tone Control (2).
Tulisan lain tentang tekhnik audio :
Pre-Amplifier
Power Amplifier
3 comments
mas tone control yg plg bagus kualitas suaranya tu yg pake ic atau transistor mas? trmksh sblmnya.
BalasSebetulnya itu relatif, Azzam. Tergantung sirkitnya. Tapi dari pola yg umum, penggunaan IC (op-amp) lebih banyak disukai karena ada beberapa IC op-amp yg memenuhi syarat untuk fungsi itu, yaitu mempunyai jalan input dgn transistor "low-noise" di dalamnya. Sebut saja misalnya : TL064, TL074, 5534, 4558, dan lain2.
BalasBang klau tc kurang keras suaranyA kira2 apnya yang mesti di modif?soalnya sterlah melewati tc,suara power sya jadi kecil!ganti tc jga ko hasilnya sama?
Balas1 tc simetris lm324+4558 sub
2 tc tr single suplay+4558 sub
Ap karakter tc yg ad sub nya kek gini ya bang?mhon petunjuknya....
Silakan komentar sesuai topik dan sertakan ID yang jelas dengan tidak menyertakan live-link atau spam.