Advertisement
Istilah heterodin sering ditemui dan dipakai dalam tekhnik radio.
'Heterodyne' mengandung makna banyak dinamika/harmonik/frekwensi. Dalam tekhnik radio, merupakan sistem penyampuran dua frekwensi agar dihasilkan frekwensi lain yang diinginkan untuk tujuan tertentu. Penyampuran itu biasanya dilakukan di dalam sebuah penguat non-linear (penguat jalur sempit), yaitu penguat khusus untuk frekwensi tinggi.
Apabila kepada input sebuah penguat non-linear dimasukkan dua sinyal sinus dengan frekwensi (misalnya) f1 dan f2, maka di output-nya akan muncul sinyal-sinyal dengan frekwensi :
(1) f1
(2) f2
(3) f1 + f2
(4) f1 – f2
Selain dari frekwensi-rekwensi itu, terdapat pula frekwensi larasan lainnya, namun karena level-nya sangat rendah maka secara praktis dapat diabaikan.
Contoh :
Kepada penguat x dimasukkan dua sinyal dengan frekwensi f1=1200kHz dan f2=745kHz. Di output penguat x akan muncul sinyal-sinyal dengan frekwensi-frekwensi antara lain :
(1) 1200kHz
(2) 745kHz
(3) 1945kHz
(4) 455kHz.
Proses penyampuran seperti ini disebut “pengheterodinan” atau heterodyning.
Bagian terpenting dari pengheterodinan adalah sinyal-sinyal frekwensi-layang (beat-frequency), yaitu f1+f2 dan f1-f2 sebagai hasil dari penyampuran jumlahan (additive-mixing).
Dalam prakteknya, frekwensi-layang dimanfaatkan sebagai 'frekwensi-antara' (intermediate-frequency) dalam penerima radio. Frekwensi-antara itu bisa f1+f2, atau bisa juga f1-f2.
Pengheterodinan untuk mendapatkan frekwensi-antara pada penerima radio dilakukan karena dengan proses ini penerima radio akan menjadi lebih baik dalam hal :
-Kepekaan (sensitivity)
-Daya-pilah (selectivity)
-Kestabilan (stability).
Karena itu radio penerima heterodyne jauh lebih baik daripada radio penerima langsung (straight-receiver) atau radio penerima refleks. Asas ini diterapkan di penerima radio AM, FM, penerima TV, dan penerima-penerima radio komunikasi.
Konvertor.
Berikut ini contoh rangkaian penguat non-linear yang berperan sebagai penyampur pada penerima radio heterodin :
Pada gambar tampak transistor T1 dirangkai sebagai konvertor, yaitu penyampur merangkap osilator yang mengubah dua frekwensi masukan menjadi frekwensi-antara di output-nya.
f1 merupakan sinyal frekwensi tinggi yang ditangkap dari antenna, dimasukkan ke basis T1. Sementara itu f2 didapatkan dari self-oscillating rangkaian transistor dengan frekwensi sesuai penalaan VC1 bersama dengan trafo osilator Trf1, umpan-balik dimasukkan ke emitor T1.
Output rangkaian berada di kolektor T1, di sini sinyal output dikopel melalui Trf2.
Catatan : VC1 bersama Trf1 membentuk L-C jajar yang beresonansi pada frekwensi tertentu. Perubahan kapasitas VC1 atau perubahan induktansi Trf1 akan merubah frekwensi resonansi L-C jajar tersebut. Lihat penjelasan tentang frekwensi resonansi dalam : Frekwensi resonansi sirkit L-C .
Apabila (misalnya) f1 adalah sinyal siaran dari suatu stasiun radio dengan frekwensi 1200kHz, dan VC1 bersama Trf1 ditala pada frekwensi 745kHz, maka pada kolektor T1 akan muncul frekwensi-layang 1945kHz dan 455kHz.
Apabila pada kolektor T1 dipasang trafo IF yang tertala pada frekwensi 455kHz (Trf2), maka yang akan dikeluarkan maksimal pada output hanyalah frekwensi 455kHz itu, frekwensi-frekwensi lainnya akan diredam. Ketajaman penonjolah frekwensi 455kHz serta peredaman frekwensi lainnya itu ditentukan oleh faktor Q dari kumparan Trf1. Lihat keterangan tentang ini dalam : Induktor .
Sinyal dengan frekwensi 455kHz ini adalah sinyal frekwensi-antara hasil penyampuran konvertor. Sifatnya tetap sama seperti f1, yaitu mengandung informasi siaran radio yang ditangkap.
Apabila penalaan VC1 diubah-ubah maka frekwensi osilasi akan berubah-ubah, dan frekwensi yang ditangkap antena pun ikut berubah-ubah pula, tetapi hasilnya akan tetap f1-f2 yaitu 455kHz, sebab output konvertor telah disetel/ditala oleh Trf1 pada frekwensi itu.
Begitulah yang terjadi.
Agar penangkapan lebih optimal, di jalan masukan konvertor dibuat sirkit tala pula, dengan kumparan antena dan varco tersendiri. Sirkit tala ini disetel pada frekwensi yang ditangkap antena.
Apabila varco pada sirkit tala masukan (antena) dan varco pada sirkit tala osilasi dibuat kompak (dapat diputar dengan satu tuas bersama-sama) maka dapat dihasilkan proses tuning untuk berbagai frekwensi yang lebih sempurna.
Dengan demikian, meskipun siaran radio yang ditangkap bermacam-macam frekwensinya, hasil penyampuran konvertor tetaplah frekwensi-antara 455kHz. Selanjutnya frekwensi antara ini dikuatkan lagi oleh beberapa tingkat penguat di mana pada setiap tingkatnya dipasang filter 455kHz berupa trafo IF atau keramik-filter 455kHz.
Frekwensi-antara 455kHz biasa diterapkan dalam penerima AM (amplitude-modulation), sedang pada penerima FM (frequency-modulation) frekwensi antara yang dipakai biasanya 10,7Mhz.
Simaklah lebih lengkap dalam tulisan terkait : AM dan FM .
Pada penerima TV, frekwensi-antaranya lebih lebar, yaitu sekitar 33,4 sampai dengan 38,9MHz.
Osilator dan Mixer.
Adakalanya sirkit penguat non-linear terdiri dari penyampur (mixer) dan osilator secara terpisah. Inilah contoh rangkaiannya :
Penerima radio yang menerapkan cara seperti ini sering disebut dengan radio super-heterodin. Selektifitas dan sensitifitasnya lebih baik daripada penerapan konvertor dengan transistor tunggal.
T1 berperan sebagai penyampur (mixer), sedangkan T2 berperan sebagai osilator lokal.
Frekwensi yang ditangkap dari antena dicampur dengan frekwensi yang dihasilkan osilator oleh mixer. Hasilnya adalah frekwensi-antara pada kolektor T1, di sini digunakan kopling tertala trafo IF.
Pada kelanjutannya, pengheterodinan semakin dikembangkan. Kini telah dibuat metode Double Super-Heterodyne, di mana frekwensi hasil pengheterodinan dicampur lagi dengan frekwensi lain sehingga dihasilkan frekwensi-antara pada tingkat kedua.
Metode ini ditempuh untuk mendapatkan selektifitas dan sensitifitas yang lebih tinggi lagi.
Silakan komentar sesuai topik dan sertakan ID yang jelas dengan tidak menyertakan live-link atau spam.